Pelajaran Parkir Bus dari Yunani 13 Tahun Silam

Pelajaran Parkir Bus dari Yunani 13 Tahun Silam


Keberhasilan Yunani menjuarai Piala Eropa 2004 (Foto: Ben Radford/Getty Images)Keberhasilan Yunani menjuarai Piala Eropa 2004 (Foto: Ben Radford/Getty Images)
Jakarta - Gol adalah inti dari permainan sepakbola. Maka dari itu, ada anggapan bahwa bermain bertahan adalah salah satu tindakan yang menyalahi sepakbola. Akan tetapi, hari ini, 13 tahun yang lalu, jauh sebelum istilah "parkir bus" populer, tak ada yang memprediksi bahwa sepakbola bertahan yang pragmatis bisa membuat sebuah negara memenangkan kejuaraan.

Yunani berhasil menjuarai Piala Eropa UEFA pada 4 Juli 2004. Mereka menang melawan Portugal di laga final.

Meskipun begitu, Yunani seperti sudah menyiapkan kejutan awal saat pertandingan pembuka turnamen tersebut dengan mengalahkan Portugal juga dengan skor 2-1. Portugal yang bertindak sebagai tuan rumah Piala Eropa 2004, ternyata harus takluk lagi dari Yunani di pertandingan puncak.

Perjalanan Yunani dan Keajaiban di Lisbon 2004

Perjalanan Yunani dan sepakbola bertahannya sebenarnya tidak terlalu mulus selama Piala Eropa tersebut. Di pertandingan fase grup setelah menang atas Portugal, mereka hanya berimbang melawan Spanyol (1-1) dan kalah dari Rusia (1-2). Namun, Yunani berhasil melaju ke babak berikutnya dengan modal empat poin tersebut.

Di perempatfinal, Yunani menghadapi Prancis, juara bertahan dari edisi sebelumnya. Prancis difavoritkan mengalahkan mereka. Tapi gol sundulan dari Angelos Charisteas cukup untuk mengalahkan juara Piala Eropa 2000 itu. Mereka kemudian menghadapi Republik Ceko; tim dengan statistik terbaik dengan torehan 10 gol.

Yunani membutuhkan 'gol perak' dari Traiana Dellas pada babak perpanjangan waktu untuk mengalahkan Ceko. Skemanya pun mirip dengan gol melawan Prancis, namun berawal dari sepak pojok. Tim asuhan Otto Rehhagel ini pun akhirnya melaju ke babak final dan mematahkan prediksi semua orang.

Sekadar informasi, sebelum hasil itu, Yunani bermain enam kali dalam sebuah turnamen besar dan menelan lima kekalahan dan sekali imbang (2 kekalahan, 1 imbang di Piala Eropa 1980 dan tiga kali kalah di Piala Dunia 1994).

Yunani kembali bersua Portugal pada laga puncak Piala Eropa 2004. Meski mampu menang di pertandingan pembuka, mereka diprediksi tetap akan dikalahkan tim berjuluk Selecao das Quinas itu. Setidaknya itu terlihat pada babak pertama ketika Portugal tak lagi kebobolan cepat seperti pada laga perdana.

Pelajaran Parkir Bus dari Yunani 13 Tahun SilamFinal Piala Eropa 2004 antara Yunani lawan Portugal (Foto: Ben Radford/Getty Images)

Di babak kedua, situasinya pun sama hingga menit ke-56. Sebuah crossing dari Stelios Giannakopoulos di sisi kanan berhasil ditanduk Charisteas dan membawa mereka unggul atas Portugal. Setelah dipaksa bertahan selama 30 menit, Yunani sukses menciptakan sejarah mengejutkan dengan menjuarai turnamen empat tahunan Eropa tersebut.

Hasil itu pun bak sebuah dongeng bagi Yunani yang sama sekali tak diunggulkan saat itu. Mereka pun disebut sebagai 'tim kuda hitam terbaik'. Fans Yunani mengeluk-elukan para pemain termasuk pelatih mereka, Rehhagel. Mereka menyebut pria asal Jerman itu dengan julukan "Dewa dari Jerman". Julukan itu merujuk pada asal negara pelatihnya dan sejarah negara mereka yang merupakan 'rumah' bagi dewa-dewa yang biasa kita lihat di buku mitologi.

"Ini merupakan pencapaian yang tak biasa bagi Yunani dan sepakbola Eropa. Mereka bermain lebih baik dari kami secara teknis namun kami lebih mampu memanfaatkan peluang. Yunani telah membuat sejarah dalam sepakbola dunia. Ini sebuah sensasi yang luar biasa. Anda ingat ketika Korea Utara mengalahkan Italia pada Piala Dunia 1966? Itu merupakan salah satu kejutan terhebat dalam sepakbola dan sekarang kami membuat kejutan tersebut," ujar Rehhagel dilansir BBC Sport.

Taktik Pragmatis dan Inkonsistensi Yunani

Yunani memang berhasil mencetak sejarah. Namun, mereka meraihnya dengan menerapkan taktik sepakbola pragmatis; menumpuk pemain di lini pertahanan, membuat frustrasi lawan dan serangan balik cepat. Taktik ini cukup berhasil saat mereka menghadapi Prancis dan Republik Ceko yang menerapkan sepakbola menyerang.

Bagi sebagian orang, sepakbola pragmatis dianggap sebuah 'kejahatan' karena dinilai merusak keindahan sepakbola itu sendiri. Mereka menilai sebuah tim dikatakan 'menang' jika mereka mencetak gol dan bermain mendominasi lawannya.

Masalahnya, taktik pragmatis sama sekali tidak dilarang dalam sepakbola. Di Laws of the Game tidak ada larangan untuk memainkan sepakbola bertahan. Maka, sah-sah saja jika melihat Yunani mampu menjuarai Piala Eropa dengan strategi bertahan.

Yunani bahkan tidak memiliki pemain bintang dalam skuat mereka dibanding Portugal yang dihiasi nama-nama seperti Luis Figo, Pedro Pauleta, Rui Costa, hingga Cristiano Ronaldo muda. Mereka hanya memiliki Charisteas dan Dellas yang masing-masing bermain di Werder Bremen dan AS Roma.

Usai Piala Eropa 2004, Yunani lebih sering lolos ke turnamen besar. Meski sempat gagal lolos ke Piala Dunia 2006, Yunani mampu mengamankan tiket Piala Eropa 2008 setelah mampu tampil bagus di babak kualifikasi. Namun, Yunani gagal memetik poin dan kalah di seluruh laga fase grup Piala Eropa 2008.

Kekalahan itu tak lantas membuat nasib Yunani di turnamen besar buruk. Mereka kembali lolos ke Piala Dunia 2010. Meski mereka tak mampu lolos dari fase grup, setidaknya mereka berhasil memetik kemenangan pertama mereka (atas Nigeria 2-1) di ajang tersebut. Namun, tidak lolosnya mereka dari fase grup ini membuat Rehhagel didepak dari jabatannya.

Posisinya kemudian diisi oleh Fernando Santos; kini melatih Portugal. Prestasi Yunani mulai membaik di bawah asuhannya. Yunani lolos ke babak fase gugur Piala Eropa 2012 sebelum dikalahkan Jerman. Di Piala Dunia 2014, Yunani lolos ke fase gugur sebelum kalah dari Kosta Rika pada babak tos-tosan di babak 16 besar.

Itu merupakan terakhir kalinya tim 'Seribu Dewa' pernah merasakan turnamen besar. Terakhir, mereka gagal lolos ke putaran final Piala Eropa 2016. Kehadiran Santos di Yunani sempat memberikan angin segar. Di bawah asuhan Santos, Yunani sempat mencetak rekor 17 pertandingan tak terkalahkan dan mencapai peringkat FIFA tertinggi mereka (peringkat 8).

Memahami Sepakbola Bertahan

Tidak seperti pada olahraga bola basket, rugbi, bulu tangkis, ataupun voli, pertahanan di sepakbola itu bisa menghasilkan hal yang positif, apalagi jika dikombinasikan dengan serangan balik, seperti yang Yunani tunjukkan 13 tahun yang lalu.

Bayangkan jika ada tim basket yang hanya bertahan, tidak pernah menyerang. Mereka tidak akan pernah memenangkan sesuatu yang positif.

Bagi sebagian orang, bermain bertahan adalah "kejahatan". Tapi jika kita berada pada sudut pandang Rehhagel sebagai pelatih Yunani, ia mungkin berpendapat jika "sepakbola negatif" semacam itu adalah sepakbola yang bisa menghasilkan sesuatu yang positif. Dan benar saja.

Untuk memahami sepakbola Yunani ini yang memang merupakan tim kuda hitam, kita bisa mengambil contoh dari seekor kelinci (tim kuda hitam) yang berhasil kabur dari seekor elang (tim hebat).

Jika kamu seekor kelinci dan sedang diincar oleh seekor elang, maka "kemenangan" versi kamu hanyalah berhasil kabur dari elang tersebut, bukan justru membunuh atau memakan elang tersebut.

Setidaknya Rehhagel dan Yunani sadar jika mereka tidak mampu bermain dominan. Mereka mungkin mau, mereka mungkin butuh, tapi mereka tidak bisa. Maka dari itu, jika ada tim yang datang ke pertandingan dengan niat untuk bertahan, sebaiknya kita tidak dengan mudah mengecapnya sebagai "anti-sepakbola".

Tepat 13 tahun lalu, 4 Juli 2004, Yunani berhasil menjuarai Piala Eropa 2004 dengan taktik bertahan semacam ini -- yang belakangan dikenal dengan istilah "parkir bus". Sejarah mencatat itu. Pencapaian Yunani menjuarai Piala Eropa 2004 masih merupakan salah satu kejutan terbaik dalam sejarah sepakbola Yunani, Eropa, dan bahkan dunia.
Previous
Next Post »